Tentang Matahari: pernyataan dan perpisahan

TENTANG MATAHARI:PERNYATAAN DAN PERPISAHAN

Sesak rasa bertabur pilu. Menggores, menyayat. Sembilu tertancap dalam, memilukan. Bagai enggan lepas dariku. Lalu, bagaimana kau dengan mudah melepasku?~

~~

Aku ingat saat itu, kau dan aku terduduk di dekat perapian. Saat jam berdenting pelan, kau akan melempar sebuah kayu kering di atasnya. Sesekali kau tersenyum mendengar celotehanku. Kita bercerita banyak hal, berbagi banyak hal pula. Hingga semakin larut, kau semakin sering melemparkan kayu ke atas perapian itu. Terdengar aneh memang, saat berada di negara tropis namun memiliki perapian.
Dulu aku bertanya, "bagaimana mungkin di negara tropis ini ada perapian seperti rumah nenekku di negeri sana?".

Kau hanya tersenyum tipis menjawab, " perlu kau ingat saja, nenekku juga suka gaya warga sana terlebih rumah ini juga berada di puncak. Lalu apa salahnya?".

Denting jam tua kembali terdengar, tapi kau berhenti memasukan kayu justru kau padamkan api itu.

"Ayo sudah malam kau harus beristirahat. Kuharap kau tak lupa kita harus bangun pagi untuk ke perkebunan". Kau berdiri mengulurkan tanganmu membantuku bangun.

"Oh ayolah ini baru jam 9 dan kemana hilangnya 'El Si Kelelawar'? Kau tak berusaha menghilangkan julukan itu bukan?"

"Julukan yang kau berikan sungguh tidak ada kerennya sama sekali. Harusnya kau pintar mencari julukan mungkin semacam 'Ael si cewek terjorok sepanjang masa' terdengar keren kan?"

Aku menggeram sambil melemparkan bantal sofa ke arahnya.

"Stop Ael! Kau bisa membangunkan Nenek dan Kakekku lalu kita akan mendapatkan ceramah tujuh hari tujuh malam dari Ayahku!"

"Kau ini! Sudah berapa kali ku bilang jangan panggil aku seperti itu! Kau terdengar seperti anak dua tahun yang menyebutkan kata 'air' ".

"Jangan salahkan aku! Bukankah kau juga memanggilku 'El'? Jelas jelas namaku Haekal!".

"Hei kau harusnya berterimakasih padaku karna aku memanggilmu dengan sebutan keren coba kalo aku memanggilmu Hae? Bukankah terdengar lebih konyol? Aku tahu lelaki sepertimu tak akan menyukainya"

"Selalu saja menyangkal! Jangan kau pikir setiap cewek selalu benar ya! Sungguh betapa konyolnya pencipta pertama kalimat itu!"

Aku tahu perdebatan kita takkan berhenti sampai di situ.

Kau benar saat mengatakan bisa saja nenek dan kakek terbangun saat itu, lalu ayah memarah kita. Nyatanya kurang dari sepuluh menit sepasang paruh baya itu tergopoh gopoh menuju ruang kearah kami. Dan dugaanmu benar, keesokan harinya kita ditahan 2 jam penuh oleh ceramah Ayahmu. Walau tak sampai tujuh hari namun itu cukup menyebalkan karna harus melewatkan pesona matahari yang baru muncul.

Aku ingat betul, kita baru menginjakkan kaki di perkebunan lereng bukit pukul 9 lewat dan itu sangat menyebalkan. Tapi mau bagaimana lagi toh sudah terlambat menyesalinya.

Kau mengajakku ke tepi sungai kecil yang dangkal. Dulu saat pertama kali kau mengajakku ke sungai ini kau berkata bahwa disini terdapat ikan emas yang ajaib. Seperti di sinetron, katamu. Saat itu aku berumur 6 tahun dan kau 8 tahun, aku percaya saja apa yang kau katakan. Kau ingat? Kita bahkan harus terkena marah karena pulang terlalu senja hanya untuk mencari ikan hayalanmu itu.

Dan lihatlah betapa sering aku ikut terkena marah hanya karnamu? Ingatkan aku untuk meminta pertanggung jawaban padamu. Mulai saat itu aku takkan percaya semua cerita karanganmu tentang sungai itu.

Kembalilah lagi ingatanku pada hari itu. Kita bersenang senang bersama melupakan ceramah 2 jam yang diberikan Ayahmu. Aku tahu, semenyebalkan apapun dirimu kau tetap akan selalu membuatku tertawa lepas. Kita lagi lagi mencari ikan emas tapi tentu bukan ikan ajaib seperti kejadian 10 tahun lalu.
Kau terlihat menekuk celana mu hingga perbatasan lutut sambil membungkuk seolah serius mencari ikan itu. Aku tertawa kencang dari tempatku duduk mengamatinya. Hey! Lihatlah pemuda berusia 18 tahun itu bahkan terlihat seperti anak 8 tahun yang dulu mengerjaiku. Namun bedanya akulah yang sekarang menertawamu. Kau menoleh kearahku lalu menatapku sebal. Tawaku semakin mengeras.

"Bisakah kau berhenti tertawa? Lihat bahkan ikan ikan itu lari mendengar tawamu! Tak tahukah aku ingin segera makan? Huh".

"Yasudahlah berhenti jika lelah. Ini akan kubagi ikan tangkapanku denganmu. Oh lihatkan gadis cantik ini begitu baik padamu, tidak bisakah kau berterimakasih?"
Aku memegangi rahang dan pipiku yang lelah tertawa. Ternyata senang juga melelahkan ya?

Kau menghampiriku dengan muka berlipat. Aku terhenyak sebentar. Kau terlihat tampan dan harus aku akui kau memang selalu terlihat tampan. Aku tersenyum simpul sembari menepuk batu di sebelahku mengisyaratkan agar kau duduk di sampingku.

"Kau payah ini sudah lebih dari sembilan puluh menit dan kau belum memperoleh ikan satupun. Liha! Aku saja kaum wanita bisa mendapatkan satu ekor ikan kurang dari tiga puluh menit"

"Kau makin cerewet saja ya. Sudah cepat kau bakar itu ikan aku sudah lapar nih"

Aku hanya mendumel pelan. Baiklah sebaiknya aku tak meneruskan perdebatan ini karna sejujurnya aku juga sudah sangat lapar.

Setelah menghabiskan ikan bakar sederhana 'ala Ael'──untuk kali ini aku diam kau sebut Ael── kita melanjutkan petualangan ini. Dari mulai kembali menelusuri kebun teh, tebing, air terjun kecil, hingga tempat indah lainnya. Sesekali kita menyapa paman atau Bibi yang sedang lewat dan juga beristirahat di saung-saung terdekat. Saat matahari akan tenggelam, kita sedang duduk di saung yang berada di tebing tinggi. Dari tempat kita duduk terlihat pemandangan yang indah dan hampir dapat melihat tempat-tempat yang seharian ini kita kunjungi.

Tepat saat matahari tenggelam kau berucap, "Aku janji suatu hari nanti kita akan kemari lagi untuk melihat sunrise. Maaf sejak seminggu lalu kita selalu gagal melihatnya"

"Dari seminggu lalu kau selalu mengatakannya, tapi lihatlah! Kau yang selalu mengacaukannya"

"Oke aku minta maaf, tapi sungguh lain kali takkan gagal lagi. Aku janji!"

"Okelah, tapi bukankah kita disini masih beberapa hari kedepan?" Aku palingkan wajahku ke arahmu.

"Sepertinya kau tak tau, besok kita pulang" Kau masih setia memandangi matahari yang tanpak telah lenyap. Malam semakin gelap.

"Kenapa? Kenapa mendadak sekali?"

"Umm maaf aku tak memberitahumu sebelumnya. Kau tau kan aku ingin melanjutkan di luar negeri? Aku diterima di universitas ternama di Inggris" Kau menoleh ke arahku dengan mimik sendu. Oh ayolah itu jelas bukan dirimu sekali!

"Wah bagus dong kalau begitu. Kenapa wajahmu muram begitu?" Aku berusaha mengulum senyum sebisa mungkin. Kau tak tahu betapa sesak dadaku saat itu.

"Kau lupa? Itu artinya kita akan berpisah 3 atau bahkan 4 tahun"

Kuhela napasku perlahan. Sungguh ini teramat sulit untukku.

"Aku tahu, tapi bukankah itu untuk kebaikanmu juga? Mana mungkin aku dapat berbuat egois? Huh.. andai saja Dad mengijinkanku ikut bersamamu"

"Jangan bersedih kumohon. Aku janji setelah pulang aku akan memenuhi janjiku. Tapi ingat jangan kau lupakan aku ya?"

"Aihh kau ini mana mungkin aku lupa padamu! Awas juga ya kalau kau yang lupa padaku" Kupukul pelan bahunya membuat tubuhnya sedikit terhuyung ke samping.

"Tak akan, Aku janji. Ya sudah ayo pulang langit semakin gelap"

Sepanjang perjalanan Kita hanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kau tak tahu, dalam diamku air mataku menetes perlahan. Aku berterimakasih karna cahaya di jalan setapak ini remang, dan kau tak mungkin melihatku menangis. Itu sungguh memalukan!

°•°•°•

Hari itu tiba. Hari dimana kau harus pergi jauh dariku untuk pertama kalinya. Sejauh itu dan selama itu. Aku mengantarkanmu hingga detik-detik terakhir penerbanganmu menunju negara di Eropa sana. Kau memeluk setiap orang yang datang mengantarkanmu. Saat kau berjalan pelan kearahku. Kau memelukku. Kau tak tahu, itu justru membuatku semakin gentar. Semakin merasa aku tak sanggup berpisah darimu. Sudah 16 tahun lamanya kau menemaniku, menjagaku layaknya seorang kakak. Dan sekarang saat umurku 16 tahun dan kau 18 tahun kita harus terpisah jauh. Sangat jauh.

"Aku janji aku akan segera menamatkan pendidikanku lalu kita akan kembali bersama"

Ini perpisahan. Perpisahan sesungguhnya.

°•°•°•°

Bertahun-tahun aku selalu teringkat kalimatmu. Setiap malam ku ucapkan, setidaknya sebagai pengobat rasa resah. Kau harus tau bagaimana rasanya. Tapi nyatanya yang terjadi sekarang lebih menyesakkan dari perpisahan 4 tahun silam. Kau disini, di hadapanku. Namun, ku merasa itu bukan kau.

Kini aku menggenggam dress yang kukenakan dengan erat. Rasanya sungguh sesak mengingat semua hal tentangmu. Tentang perpisahan kita. Tentang janjimu. Tentang segalanya. Saat itu aku kira kau akan menepati janjimu untuk kembali lagi padaku, nyatanya? Bullshit! Kau pembohong!
Lihatlah! Pria dewasa yang 4 tahun lalu mengucap janji manisnya sekarang justru bersanding dengan seorang wanita cantik. Kau tersenyum bahagia di depan semua orang seakan kau lupa aku, lupa semua janjimu padaku.

"Aelka kemari sayang! Apa kau tak ingin berbincang dengan calon kakak iparmu?"

Persetan dengan julukan kakak ipar! Sungguh apakah Mom tidak mengerti perasaanku? Kau bukan kakakku dan aku berharap 'Dia' juga bukan kakak iparku!

"Umm maaf Aelka permisi ingin ke toilet" Aku berdiri, sempat melihat kearahmu. Kau melihatku dengan alis terangkat. Kau mengerti aku, tapi mengapa kau tak sedikitpun mengerti perasaanku?

"Ael tunggu!" Itu bukan suara khasmu. Aku menoleh, ada Bunda disana. Berjalan menghampiriku.

"Ada apa Bunda?" Aku tersenyum simpul ke arah wanita paruh baya yang melahirkanmu. Sungguh aku menganggapnya Ibu kedua bagiku.

"Kemari Ael! Kita bicara dengan duduk. Sungguh Bundamu yang tua ini tidak sanggup berdiri terlalu lama" Bunda tertawa pelan sembari mengajakku untuk duduk di kursi dekat meja makan.

"Bunda ini mana mungkin sudah tua? Walaupun begitu Bunda tetap terlihat cantik kok hehe"

"Kau ini selalu saja pintar memuji. Jadi apakah aku menganggu acara ke toiletmu?" Aku tersentak. Aku tahu Bunda selalu lebih mengerti aku daripada Mom ku sendiri.

"Tak usah berbohong pada Bunda. Bunda tahu semuanya, kan? Sejujurnya Bunda sungguh terkejut melihat El membawa wanita itu kemari, kau pun juga kan?"

Bunda pikir saat kemarin El ingin mengenalkan seseorang untuk dinikahi itu dirimu. Tapi nyatanya sungguh diluar dugaan. Bahkan Bunda saja baru pertama kali melihatnya"

"Ael juga terkejut Bunda, tapi mau bagaimana lagi. Lagipula Ael juga sudah menduga ada yang salah dengan El sejak satu minggu lalu. Dan Ael tidak menduga akan secepat ini" Aku tertunduk memainkan jemariku.

"Sungguh Ael kalau saja Bunda dapat memilih jelas Bunda akan memilihmu untuk menjadi menantu Bunda. Apakah perkataan Bunda justru menyakitimu?" Diakhir kalimatnya, Bunda memegang tanganku mencoba menyalurkan ketenangan.

"Tak apa Bun, mungkin sudah begini nasib Ael. Sepertinya sudah cukup lama Bun, takut mereka menunggu kita. Mari Bun!"

Aku dan Bundamu berbalik menuju ruang penyiksaan itu. Sungguh! Jika saja aku bisa memilih mungkin aku lebih memilih untuk pergi saja yang jauh. Menjauh dari Kau dan Wanitamu. Saat ku kembali, semua terlihat sibuk membicarakan tentang 'pasangan baru' di sini. Sungguh amat memuakkan drama yang kau buat.

°•°•°•°

Dua detik lalu, matahari baru saja muncul dari peraduannya. Kita duduk berdua di salah satu saung di lereng bukit, menyaksikan. Ini sungguh momen yang mengasikan kalau saja terjadi beberapa tahun belakang. Atau mungkin jika tidak ada kejadian mengenai 'pasangan baru'. Ku hela nafas panjang. Kau toleh, mencoba membuka percakapan namun kembali bungkam. Lalu aku balas menoleh padamu dalam diam, memadu pandang. Hela nafas berat kembali terdengar, namun kali ini darimu.

"Eumm... Apa kabar, Ael?" Aku membelalakan mata tak percaya.

Hey, dengarlah! Setelah satu hari bertemu dan sejam belakangan terduduk diam berdua, kau baru menanyakan kabar? Lelucon macam apa ini?!

"Kenapa? Ada yang salah?"

"Eh? Aku baik kok baik" Aku meringis diakhir kalimatku, sungguh aku tak tau harus berbuat apa lagi.

"Maaf" Kau hanya menatap lurus ke arah langit yang mulai cerah.

"Untuk?"

"Semua. Semuanya." Sekarang kau menatap lekat mataku. Aku tergetar.

"Maaf membuatmu menunggu, maaf baru mengabulkan janjiku hari ini. Sungguh sedari dulu aku ingin pulang, lalu menemanimu melihat sunrise. Tapi kau tau kan semua tak semudah yang dibayangkan?"

Aku membuang nafas pendek dan melepas pandang darinya.

"Ya, aku tau." Dan kau harusnya pun tau.

"Ael..."

Aku hanya bergumam pelan, masih membuang pandang. Aku hanya tak ingin Ia melihatku lemah.

"Maaf membuatmu terkejut dengan membawa Sonya kemari. Aku hanya ingin keluargaku termasuk kau tau mengenainya."

Omong-omong, aku baru sadar bahwa wanita itu bernama Sonya. Dan aku rasa aku tak peduli sedikitpun tentangnya.

"Aku bertemu dengannya 4 tahun silam, tepat dihari keberangkatanku. Dia duduk disebelahku saat dipesawat. Kita tanpa sadar bercerita banyak hal. Hingga setelah berjam-jam aku baru tau kalau dia juga akan menuntut ilmu di universitas yang sama denganku. Konyol sekali kan?"

Kau tertawa rendah, aku melihat sinar itu di matamu. Aku hanya dapat tersenyum kecil.

"Dia teman pertamaku disana, dan mungkin sebagai satu-satunya teman wanita yang dapat sedekat itu disana." Jadi aku tergantikan, huh?

"Aku sungguh tak tau kapan rasa itu tumbuh. Namun, aku merasa dia berbeda. Dia apa adanya dengan caranya sendiri. Terlebih aku banyak menghabiskan waktu dengannya. Pada tahun ke dua aku baru bisa yakin akan perasaanku. Dan aku mengungkapkan padanya setelah tahun ketiga. Payah sekali, bukan?" Kau kembali tertawa, dan aku kembali membuang pandang.

Kau kembali bercerita banyak hal tentangnya. Aku pura-pura menyimak, pada dasarnya aku tak tau apa yang kau ceritakan. Ini sungguh berat bagiku.

"Haekal!!!" Kita berdua menoleh. Ternyata itu suara 'wanita itu'. Aku benci untuk mengakui bahwa Ia terlihat lembut dengan dress polos berwarna peach-nya. Jadi, pantas bukan kau terpesona?

Wanita itu melambai pelan, mengisyaratkan agar kita atau-mungkin-hanya-kau untuk kembali ke villa. Kau mengangkat tanganmu, memintanya menunggu.

"Apa kau ingin kembali sekarang?"

"Aku rasa aku masih ingin disini."

"Oke baiklah. Terimakasih Ael, kau sudah mendengar ceritaku. Lain kali kau juga harus menceritakan seseorang yang dekat denganmu, oke?"

Kau menaikkan alismu sembari senyum bergurau lalu melambaikan tangan dan berjalan menjauh. Aku hanya dapat menatap punggungmu yang menjauh. Kau menghampiri 'wanita itu', menggenggam tangannya dan berjalan berdampingan. Sesekali kau dan dia tertawa lepas. Aku disini meringis. Mungkin memang ini jalannya. Mungkin memang ini akhirnya.

Disaung yang sama, di waktu yang berbeda. Kau menyatakan sebuah pernyataan perpisahan. Namun, sekarang kau nyatakan secara tersirat. Dan berlaku selamanya, itu sungguh lebih menyakitkan. Sungguh.

Aku sadar semua telah berakhir, pada detik pertama kau membawanya ke hadapanku.

•END•

----------------------------------------------------------

Haloww! Setelah mulai bosen sama wattpad akhirnya ais mutusin buat ngungsiin satu persatu cerpennya He He.. Sooo, maapin kalo kejar tayang hehe..
See yaa ❤

©® Aisyah Miftachul Rochmah
Purwokerto, 12 Mei 2017 

Komentar

Postingan Populer